PART
2
“Jen,
lo pasti nggak percaya ini. Jen, gue seneng bangettttt. Rasanya mau terbang tau
nggak” kataku dengan senyum mengembang.
“Kenapa?
Uang saku lo jadi lipat ganda?” tanya Jenar cuek.
“Behhh,
lebih dari sekedar itu Jen”
“Kenapa
sih?” kali ini Jenar penasaran. “Eh, udah ngerjain PR-nya Bu Prapto belum?”
“Ntar
gue ceritain sama yang laen. Udah dong, emang lo belum?”
“Udah
sih, tapi masih ada yang kosong. Ntar liat punya lo ya”
Aku
dan Jenar sudah sampai di ambang pintu kelas, kami bernafas lega karena Pak
Didit belum masuk kelas. Aku memilih tempat duduk di depan Jenar di samping Ayuko.
Hari ini yang merana adalah Denata. Karena kami berlima, jadi nggak bisa duduk
berbarengan terus, harus ada salah satu yang mengalah duduk dengan teman selain
kami dan ini diorganisir secara bergiliran biar adil.
Semenit kemudian Pak Didit
masuk kelas. Dengan gontai tapi penuh percaya diri dia berjalan di depan kelas
dengan tatapan lurus ke depan. Sambil membawa tas laptopnya tentunya. Setelah
duduk di belakang meja guru dan meletakkan tas di samping meja, “Pagi
anak-anak. Kumpulkan PR kalian, yang tidak membawa atau belum mengerjakan
silahkan maju ke depan” katanya dengan nada sedikit mencela dan memandang ke
pelosok kelas. Untungnya, aku sudah mengerjakan dan tak lupa membawa tentunya.
“Li, em…” kata Ayuko gugup
“Kenapa Ay? Lo belum
ngerjain PR?” tanyaku kaget. Ayuko termasuk anak rajin di kelas kami, hampir
tak pernah lupa tentang PR dan ulangan, apalagi kalo gurunya Pak Didit. Rio pun
nggak akan lupa. Rio adalah teman kami yang hampir sama sekali nggak peduli
dengan pelajaran. Dia akan bermain handphone atau bergurau dengan temannya jika
pelajaran sudah dimulai.
“Em, iya. Gimana dong?
Kemarin malam gue smsan sama Pandu sampe jam 2 trus lupa ada PR Pak Didit”
katanya sambil menggigit bibir bawahnya. Pandu adalah cowok taksiran Ayuko. Menurutku
ini bukan situasi gawat, karena hukuman Pak Didit biasanya mengerjakan soal
sulit di depan kelas. Dan Ayuko pintar dalam bidang matematika.
“Nggak papa kok Ay. Lo kan
jagonya matematika, pasti lo bisa ngerjain” jawabku mantap.
“Bukan itu….ntar kalo
ditanya ‘kenapa belum mengerjakan?’ gitu gimana?”
“Lo ngakunya ketinggalan
aja, tadi lo buat belajar di mobil, trus lupa belum lo masukin tas gara-gara
udah mau masuk kelas. Lagipula tadi lo masuknya bareng Pak Didit kan”
“Iya juga sih. Wah, lo
pinter banget ngarang, bartaw gue. Haha”
Aku hanya memandangnya
dengan tatapan “-_-“
Ayuko maju dan membuat
pengakuan seperti yang kusarankan. Pak Didit hanya mangguk-mangguk dan
menyuruhnya mengerjakan soal sulit. Ayuko mengerjakannya dengan hitungan menit.
Padahal, biasanya orang lain akan berdiri setengah jam lalu mengibarkan bendera
putihnya untuk Pak Didit lalu mohon diri.
Setelah jam pelajaran Pak
Didit, aku dan Ayuko pergi ke kamar mandi sementara yang lain sibuk dengan PR
Bu Prapto.
“Kalo PR Bu Prapto udah
ngerjain?” tanyaku.
“Udah dari kemarin” jawab Ayuko
enteng.
“Ada kemajuan ya, lo sama
Pandu?”
“Lumayan, ternyata dia
orangnya asik buat temen smsan”
“Gue juga ada kemajuan sama
Ezra” sahutku penuh semangat. Kami sudah memasuki kelas dan menuju bangku kami.
Ayuko tertegun sesaat. “Wow,
gimana? Kok bisa?” tanyanya dengan raut muka penasaran.
Jenar, Denata, dan Abel
langsung berkerumun dengan kami. Aku menceritakan secara detail pertemuanku
dengan Ezra tadi pagi.
“Wah, sempet kenalan nggak
Li?” tanya Abel penuh semangat.
“Enggak, gue nyesel. Mending
ngerjain soal tapi kenalan deh, tapi dia udah ngusir gue gitu. Masa iya gue
ngotot mau kenalan, kan norak.”
“Yah, Alika, itu kan
kesempatan emas” jawab Denata dengan nada kecewa.
“Seenggaknya Ezra udah tau
elo Li, siapa tau ntar ketemu lagi” sahut Ayuko dengan tersenyum tulus.
“Lagipula, jodohmu tak akan tertukar kok Li” tambahnya.
“Ayuko bijak banget sih,
heran gue” Kali ini Jenar yang bicara.
“Eh, Ayuko kemarin smsan
sama Pandu sampe jam 2 pagi loh” kataku pamer.
“WOOOWW!” sahut mereka
serempak.
“Udah semaju itukah lo sama
Pandu?”
“Ya ampun, kok nggak cerita
sih Ay?”
“Enggak juga sih, menurut
gue, Pandu nggak tertarik sama gue tuh” sahut Ayuko sambil menghela nafas
pendek. Ini kebiasaan Ayuko kalo lagi kecewa.
“Kok bisa?”
“Entahlah. Dia jarang
tanya-tanya tentang gue. Lebih banyak tentang hal remeh-temeh.”
“Namanya juga permulaan Ay,
dulu gue sama Harry juga gitu” jawab Denata menenangkan. Dari kami berlima,
Denata dan Jenar yang punya pacar. Pacar Denata adalah Harry, kakak kelas kami.
Sekarang dia kelas 11, dia juga terkenal sebagai cowok paling ganteng diangkatannya.
Sedangkan Jenar punya pacar yang sudah kuliah, di jurusan Desain Grafis
semester pertama, mereka saling kenal di toko buku. Abel tidak peduli dengan
cowok, dia lebih peduli dengan persahabatan dan makan. Katanya, Papanya akan
menjodohkannya. Maklum, Abel anak tunggal.
Setelah
pelajaran Bu Prapto (pelajaran terakhir hari ini), akhirnya kami mendengar
bunyi bel tanda pulang. Semua anak langsung ngolet
tak keruan. Pelajaran Bu Parpto adalah sejarah, sudah biasa jika lebih banyak
anak yang tidur daripada mendengarkan. Kami semua langsung berteriak “Hore!!”
dan segera berkemas.
“Li,
kami duluan dulu ya. Lo nggak papa kan ditinggal sendiri?” tanya Ayuko. Mereka
akan ke rumah Abel karena memang begitulah kebiasaan kami. Bermain ke rumah
salah satu diantara kami yang sedang punya novel baru atau DVD baru. Tapi kali
ini aku nggak bisa ikut karena ada janji dengan Kak Diko untuk langsung pulang
dan menemaninya ke toko buku. Katanya ada buku yang dia suka, dan dia belum
punya pacar untuk jalan bareng.
“Iya,
nggak papa. Paling Kak Diko sebentar lagi sampai” jawabku.
“Okedeh,
bye Li. Happy waiting” kata Abel sambil terkikik.
Sudah
limabelas menit aku nungguin Kak Diko, padahal Kak Diko bukan tipe orang yang
suka terlambat. “Arggghh, awas kalo dia udah dateng, gue cabik-cabik ntar”
kataku kesal. Siapa yang nggak kesel sih kalo dia yang bikin janji, dia yang
minta sampe mohon-mohon, dia yang butuh eehhh tapi dia juga yang telat? Padahal
sini punya acara sendiri? Rawrr.
“Lo
kenapa? Kok mau nangis gitu?” kata suara berat.
Siapa
sih ini cowok? Atau mungkin cewek? Tapi suaranya berat kok. Sok tau banget sih,
lagipula aku nggak mau nangis kok. Belum kenal aja belagu. Awas yahh. Aku mencoba
untuk menoleh dan bersiap untuk memaki-makinya. Daaannn, aku harus berkedip
beberapa kali untuk meyakinkan ini. Coba tebak? Yap! Ini Ezra lagi!! Aku berusaha
bersikap selayaknya lagi marah “Siapa bilang gue nangis, sok tau lo” sahutku
sewot.
“Sewot
amat sih, padahal mau gue temenin nunggu loh. Tapi gapapa kok kalo mau sendiri”
“Eh,
enggak kok. Gue seneng. Maaf udah sewot. Kenalin, gue Alika” jawabku sambil
mengulurkan tangan kananku. Udah berkali-kali aku nunggu moment ini. Jadi, udah
berbulan-bulan juga aku ngerawat tanganku supaya enak kalo jabat tangan sama
Ezra.
“Kirain
lo tau nama gue. Gue Ezra” sambil tersenyum dia menjabat kuat tanganku. Ini
baru yang namanya cowok, kataku dalam hati.
“Lo
nunggu siapa?”
“Oh,
kakak gue. Katanya dia mau jemput, tapi kayaknya telat deh” kataku sambil
menghela nafas pendek seperti Ayuko. Padahal pikiranku menari-nari.
“Kirain
nungguin pacar, hehe”
What? Ezra ngomongin pacar?! Di
depanku?! Sampe rumah aku harus mastiin kupingku udah bersih. Ini lebih dari
sekedar mengejutkan. “Gue belum punya pacar kali, lo lagi nunggu juga?”
“Iya”
jawabnya pendek tanpa menoleh ke arahku, di sibuk melihat jalan, mungkin dia
lagi nunggu jemputan juga. Jodoh kali ya. Hehe.
“Jemputan
lo?”
“Bukan,
gue nunggu Adit. Dia sahabat gue. Kita lagi… Oh, itu dia!” sahut Ezra sambil
menunjuk cowok bersepeda ninja memakai helm yang menuju ke arah kami. Dari
luar, dia tampil bener-bener kece. Mungkin karena motornya kali ya.
“Dit,
sini deh. Ini, kenalin Alika. Alika, ini Adit” Rasanya aku belum pernah liat
anak cowok seperti dia di sekolah. Adit membuka helmnya dan wow. Dia nggak
kalah keren sama Ezra. Tapi di mataku gantengan Ezra tetepan, hehe.
“Hai
Li, salam kenal. Zra, cepetan” sahutnya cepat.
Ini
orang nggak sopan banget sih, emang buru-buru banget yah. Pikirku. “Salam kenal
juga” gumamku lebih cepat, untung ada Ezra dan dia teman Ezra. Mungkin udah aku
bacok ini Adit.
“Yaudah
deh, bye Li” kata Ezra.
“Bye Zra” sahutku sambil memamerkan
senyum paling manisku. Aku memang tidak begitu cantik, tapi aku sadar kalo aku
manis kok, hehe.
Sekitar
dua menit kemudian, Kak Diko dateng. Untunglah, mungkin kalo dia ngga segera dateng
keburu jadi lumut akunya. Aku langsung maki-maki Kak Diko karena
keterlambatannya. Lalu dia jelasin kenapa bisa terlambat. Ternyata, dia nganter
Kak Cissy pulang dulu. Kak Cissy adalah taksiran Kak Diko, kabarnya mereka kini
makin dekat. Sialan juga Kak Diko, telat dari janji gara-gara cewek. Tapi gapapa
deh, gara-gara dia telat, aku jadi resmi kenalan sama Ezra. Pikirku sambil
terkikik senang.
“Lo
kenapa sih dek? Ayo cepet naik”
“Iya
bawel” jawabku.